Jam di pergelangan tangan Goldy menunjukkan pukul 4 lewat 45 menit ketika ia memasuki gerbang sebuah rumah sakit tempat ia bekerja sebagai seorang perawat. Sudah lebih dari dua tahun ia bekerja sebagai perawat di rumah sakit yg sebagian besar pasiennya adalah kalangan menengah ke atas. Setiap pasien rawat inap akan dimintai sejumlah uang deposit yang tidak kecil jumlahnya tergantung pada ruang kelas yg dipilih, kadang kala melebihi jumlah gaji Goldy selama satu bulan. Namun demikian rumah sakit ini tak pernah sepi karena pelayanannya yang bagus dengan fasilitas penunjang yang serba canggih. Gedung rumah sakit itu menjulang tinggi sampai 14 lantai di pinggir jalan raya, di setiap sudut ruangnya ada pewangi yang secara otomatis setiap 15 menit sekali akan menyemprotkan aroma harum. Tak ada aroma obat dan alkohol yang menyengat seperti rumah sakit yang ada di kota kecamatan tempat goldy kecil dulu pernah dirawat.
Goldy bertemu dengan seorang wanita separuh baya ketika ia sedang makan siang di kantin rumah sakit dua bulan yang lalu. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Nyonya Savitri, seorang ibu rumah tangga yang juga memiliki usaha jasa merias pengantin. Dari penampilannya goldy menyimpulkan wanita ini pastilah orang kaya.
Namun sikap nyonya savitri yang ramah membuat Goldy tidak canggung dan merasa nyaman meski ia menyadari dirinya tidaklah sederajat dengan nyonya savitri. Goldy dibesarkan dalam suasana yang serba kekurangan. Ayah Goldy meninggal waktu ia masih berumur 5 tahun , Goldy kecil tinggal bersama ibunya yang bekerja keras sebagai tukang sapu jalanan. Goldy berhasil menamatkan pendidikan sampai ke sebuah Akademi Keperawatan karena ada tetangga yang mengusahakan bantuan pendidikan bagi dhuafa dari sebuah yayasan.
“ Alhamdulillah….puji syukur ke hadiratMu ya Alloh” sebuah kata yang selalu terucap manakala Goldy mengingat masa lalunya.
“ Saya membutuhkan seseorang yang bisa menemani anak saya dari jam 5 sampai jam 8 pagi, kau bisa menolong ibu nak?” kata nyonya Savitri membuka percakapan di kantin waktu itu sambil memainkan hp keluaran terbaru. Goldy terdiam sejenak , sambil menyeruput air mineral terbayang ia akan hp kuno ibunya yg sudah rusak tak bisa diperbaiki lagi ,berbeda 180 derajat dengan hp di tangan nyonya Savitri. Sudah satu bulan lebih ia tak bisa menghubungi ibunya yang tinggal di kota lain untuk melepas rindu. Uang tabungannya belum cukup untuk membeli hp meski itu hp bekas. Tanpa berpikir panjang Goldy menerima tawaran nyonya savitri.
Goldy selalu datang tepat jam 5 pagi atau sebelumnya untuk menggantikan nyonya Savitri menemani Abam. Ibrahim Aji adalah nama panjang Abam, anak bungsu dan satu-satunya anak lelaki dari tiga bersaudara anak Nyonya Savitri dengan Bapak Suryo seorang pengusaha. Sebelum sakit Abam adalah seorang professional muda yang cekatan, penuh kreativitas dengan dedikasi yang tinggi, Ia bekerja pada sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengeboran minyak lepas pantai.
Lorong ruang rawat lantai 5 masih sepi ketika Goldy keluar lift, dengan langkah pasti Goldy menuju ruang 505. Sambil mengucap salam perlahan ia membuka pintu kamar rawat. Abam terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang infus di tangan kanan sementara tangan kirinya memegang tasbih, mulutnya tak henti berzikir dan berdoa. Abam tampak sangat khusuk
Kedatangan Goldy disambut oleh nyonya savitri. Ruang kamar berukuran 6x6 meter tampak lengang hanya ada nyonya Savitri dan Abam. Goldy menyalami dan mencium punggung tangan Nyonya Savitri dengan takjim. Setelah berbasa basi sebentar nyonya Savitri lantas menghampiri Abam, mencium kening Abam seraya berkata dengan nada lembut “Mama pulang dulu ya, kamu ditemani Goldy…” Abam mengangguk sambil tersenyum dan membalas dengan nada sangat pelan“Terima kasih Mama ya sudah menemani Abam, maafkan Abam yang selalu merepotkan mama.”Tampak butiran air bening mengalir dari sudut mata keduanya.
Sambil menyeka air matanya dengan selembar tisu nyonya Savitri keluar kamar 505, kepedihannya makin dalam manakala teringat kata-kata dokter Sidiq dua tahun yang lalu “Mohon maaf ibu, saya harus menyampaikan bahwa Abam terkena Osteosarcoma, tumor tulang ganas…….” Nyonya Savitri benar- benar tak kuasa menahan kesedihan dan kegundahan hatinya, ia tak mau kehilangan Abam muda yang selalu penuh semangat. Sejak itu ia limpahkan semua urusan bisnis ke anak2nya, tak pernah lagi ia ke pasar apalagi ke mall, waktunya hanya untuk Abam dan suami. Ia hanya meninggalkan Abam pada pagi pukul 5 sampai dengan pukul 8 untuk sekedar menengok rumah sambil mempersiapkan kebutuhan suaminya sebelum berangkat kerja. Selebihnya ia habiskan waktu bersama Abam di rumah sakit.
Goldy menyeka air mata Abam dengan pelan sambil tersenyum, rasa bahagia dan ingin melakukan apa saja untuk kebahagiaan Abam selalu menyeruak dalam hatinya setiap kali ia bertugas menjaga dan menemani Abam. Tanpa sadar ia menyenandungkan syair lagu butiran debunya Rumor
Namaku cinta….ketika kita bersama
Berbagi rasa untuk selamanya
Namaku cinta…ketika kita bersama
Berbagi rasa sepanjang usia……….
Abam turut bersenandung lirih sambil tersenyum memandang Goldy. Bersama mereka mengulang-ulang syair lagu tersebut tanpa pernah melanjutkan syair berikutnya sebagaimana kesepakatan mereka berdua. Mereka merasa syair lagu itu melukiskan keberadaan mereka berdua. Selalu menghabiskan pagi bersama,bergantian menceritakan pengalaman kerja masing-masing, seringkali mereka tertawa bersama kalau ada cerita lucu.
Goldy membetulkan letak selimut yang menutupi kaki Abam. Bagian lutut kanan tampak lebih menonjol ,sebagaimana prediksi dokter bahwa perkembangan sel kanker tulang sangat cepat meskipun Abam sudah menjalani kemoterapi dan radiasi. Untuk mencegah perkembangan sel kanker sampai ke organ vital seperti paru dokter menyarankan untuk amputasi. Pihak keluarga dan Abam sendiri sudah menyetujui untuk amputasi hanya kondisi fisik Abam belum memungkinkan.
Semenjak ada Goldy yang menemani setiap pagi Abam lebih bersemangat untuk melawan penyakitnya. Perhatian Goldy yang begitu besar berhasil memompakan semangat juang Abam melawan kanker di lututnya, bahkan rasa sakitnyapun sangat berkurang bila ada Goldy di sampingnya. Goldypun merasa hidupnya lebih bermanfaat . Bukan hanya karena imbalan yang ia terima yang membuat Goldy sepenuh hati menemani dan merawat Abam tetapi entahlah Goldy merasa nyaman jika sedang menemani Abam.
Dokter Sidiq diikuti dua orang perawat masuk ruangan untuk memeriksa kondisi Abam. Goldy berdiri mempersilakan dokter untuk memeriksa Abam. Selesai memeriksa dokter Sidiq berkata“Alhamdulillah kondisinya semakin membaik, dua atau tiga hari lagi Abam siap untuk operasi ya…… nanti Abam bisa menggunakan kaki palsu”.
“ InsyaAlloh siap dok….dengan kaki palsu Oscar Pistorius bisa jadi atlet lari paralimpic” seolah Abam menyemangati diri sendiri.
“Bagus-bagus…..Abam hebat ya Dok” Goldy menimpali
“Goldy lebih hebat dok, karena dialah yang memberi vitamin semangat tiap pagi” Abam memuji Goldy
“Ok Ok kalian berdua hebat……nanti siang aku traktir makan mi ayam dan es teller di kantin ya” kata dokter Sidiq sambil melirik ke arah Goldy. Goldy menyambut tawaran dokter Sidiq dengan antusias sambil berkata”Dengan senang hati, hmmmm ….bisa habis dua mangkok mi ayam saya dok, nanti makanan untuk Abam bisa dibungkus ya……” Abam sempat menangkap sinyal-sinyal bahagia antara Goldy dan dokter Sidiq. Abam tak kuasa menolak rasa sedih yang datang tiba-tiba. Ada nyeri di lubuk hati Abam, khawatir kehilangan Goldy meskipun ia menyadari Goldy berhak mendapatkan kebahagiaan bersama dokter Sidiq.
Pukul 7.50 itu artinya tinggal 10 menit lagi Goldy harus segera meninggalkan Abam menuju ruang IGD tempat ia bertugas. Kembali ia bersenandung dengan riang
Namaku cinta….ketika kita bersama
Berbagi rasa sepanjang usia….
Tiba-tiba Abam melanjutkan syair lagu tersebut
Hingga tiba saatnya
Akupun melihat
Cintaku yang khianat
Cintaku berkhianat………
Suara Abam terdengar sangat memaknai syair tersebut dengan raut wajah yang sedikit tegang. Goldy menjerit lirih “Stop….stop, kenapa jadi berlanjut???
Goldy memperhatikan raut wajah Abam, ada gurat kecewa yang mendalam, wajahnya menegang, mulutnya terkatup. Untuk beberapa saat Goldy terpana mencoba memaknai situasi.
“Aku tanpamu butiran debu……” bisik Abam lirih dengan suara gemetar.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Nyonya Savitri masuk diikuti dengan suaminya. Goldy pun segera berpamitan meninggalkan mereka bertiga dengan perasaan tak nyaman, waktu sudah menunjukkan pukul 8 dan ia harus mulai bekerja. Tak disangka tawaran makan siang dokter Sidiq yang membuat hatinya berbunga-bunga justru mengecewakan Abam.
Dering hp di genggaman Goldy berbunyi ketika ia baru saja duduk di kursi kantin bersama dokter sidiq,di ujung sana terdengar suara panik nyonya Savitri
“Goldy….. Abam gawat…..Goldy…..tolong panggilkan dokter ” Goldy segera berlari diikuti oleh dokter Sidiq menuju kamar Abam.
Di dalam kamar 505 nyonya Savitri dan Pak Suryo tampak membisikkan doa di telinga Abam, wajah keduanya tegang.
”Abam koma dan harus segera dipindahkan ke ruang ICU….” kata dokter Sidiq setelah selesai memeriksa kondisi Abam.
Para perawat dan dokter sibuk melakukan persiapan pemindahan Abam ke ruang ICU. Mata Abam tertutup rapat, diam terbujur, napasnya tersengal, ada butiran keringat di keningnya. Goldy turut mendorong ranjang yang membawa Abam memasuki ruang ICU. Tak ada yang diperbolehkan menunggu Abam di dalam ruang ICU. Goldy termangu di depan pintu ruang ICU, seolah ada yang hilang dari dirinya……Goldy mencoba memaknai syair lagu terakhir yang dinyanyikan Abam “Aku tanpamu butiran debu…….aku tanpamu butiran debu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar